Minggu, 14 November 2010

PILKADA DALAM POLITIK
TRANSAKSIONAL
( Mencari Pemimpin Masa Depan )

Gejala politik transaksional sudah munsul sekitar tahun 1980han, terutama dalam pemilihan lansung kepala desa (lurah), budaya tersebut dikembangkan terus dalam pemilihan legis latif, mulai dari pemberian kaos, sembako, sampai uang cendol.

Politik Transaksional seolah dilegitimasi oleh semua kalangan, dari mulai mayarakat awam, tokoh masyarakat, sampai tokoh agama, buktinya banyak kalangan agamawan ikut memanfaatkan kesempatan tersebut dengan jalan pengajuan proposal mejid, mejli ta’lim dan lainnya.

Walaupun politik transakional (mani politik) dilarang oleh undang-undang, tapi faktanya hampir semua orang melakukan walaupun caranya berbeda-beda, ada yang berdalih sodakoh, ada yang berdalih “Ahsin ala mukhin”  bahkan ada yang beranggapan memberi upah kerja, atau uang trasport. cara- cara seperti itu dihukumi halal asal bersifat kebaikan.

Selogan calon pemimpin sekarang kalau ingin terpilih harus “BERJUANG” singkatan dari member baju (kaos), beras dan uang.

Jika kondisi ini dibiarkan, saya meramalkan kedepan, “Siapapun orangnya, apapun latar belakangnya” kalau mampu BERJUANG pasti terpilih jadi pemimpin.

Muchamad Yuliyanto Staf Pengajar FISIP Undip, Peneliti di LPPD Jateng menilis Dinamika Politik Lokal Dalam Pemilu 2009, hasil penelitian beliau sebagai berikut:

-
Pemilu 2009 terdapat gejala “matinya” politik massif yang ditandai sepinya
peminat dan apresiasi pubik terhadap kampanye terbuka. Masyarakat semakin
memahami kampanye terbuka sebagai arena hiburan gratis lima tahunan. Hal
ini menjadi pelajaran penting bagi politisi ke depan.

-
Menguatnya individualisme politisi yang semakin tidak mempedulikan platform maupun ideologi partai: dalam kasus persaingan memperoleh suara terbanyak: pengeluaran modal politik cenderung menjadi sorotan public bagi dewan hasil Pemilu 2009.

-
Menguatnya pemahaman masyarakat bahwa sistem perolehan suara terbanyak menjadikan satu suara sangat berarti bagi caleg lalu memunculkan pikiran pragmatisme politik melalui transaksi material dalam tindakan efficacy.


Menguatnya gejala “jual beli” suara yang ikut mpengaruhi perfomance dewan ke depan.

-
Efek media yang mengekspose perilaku korup politisi memperkuat pemahaman sebagian orang bahwa politik di Indonesia sarat “take and give” dengan modal/uang. 

-
Persaingan internal caleg satu parpol dalam satu Dapil memiliki kecenderungan perilaku “menghalalkan” segala cara yang secara faktual sejalan dengan sikap “jual mahal” masyarakat atas kepemilikan suaranya yang sangat berarti.

-
Perilaku pragmatis calon pemilih maupun elite parpol merupakan konsekuensi dari perpolitikan “zonder” ideology dan identitas parpol sebagai   faktor diferensiasi dalam membangun masa depan bangsa.

-
Demokrasi yang diderivasikan secara praktis ke dalam pemilu yang kualified dan elegan akan mudah terwujud ketika diikuti kemakmuran/kesejahteraan masyarakat yang memadai. (Symour M.Lipset, 1994).Kemiskinan material masyarakat yang seiring merosotnya ideologi politik memudahkan terjadi transaksi dalam berpolitik.

Performance/Tampilan Dewan ke Depan

-

Transaksi dalam perolehan suara atas dasar pemberian materi akan mempengaruhi mindset anggota dewan terkait “kesempatan” selama menjadi anggota dewan terkait integritas.

-
Anggota dewan harus mampu mengembalikan kepercayaan public terkait kinerja dan merosotnya integritas akibat terlalu dominan segalanya berhubungan dengan modal material.

-
Anggota dewan harus membuktikan bahwa produk Pemilu 2009 sesuai ekspektasi publik : jujur, kompeten serta dekat dengan masyarakatnya.

-
Caleg terpilih harus bersiapsiap membangun komunikasi politik secara kontinyu di Dapilnya sebagai wujud tanggungjawab politik.

-
Profesionalisme anggota dewan harus selaras dengan penampilan yang sederhana, populis dan selalu melaporkan kinerjanya kepada konstituen di Dapilnya. Politik Transaksional (dari Pileg – Pilkada)

-
Politik transaksional amat dipahami bernuansa ”political trading” artinya politik sebagai wujud dagang; jual beli kesempatan & kepercayaan antara rakyat dengan politisi.

-
Politik transaksional ini berlangsung karena saling memahami dan “suka sama suka” akibat runtuhnya keyakinan bahwa politik adalah entitas yang sejatinya sarat virtualisme : bahwa politik adalah sarana utk menyejahterakan masyarakat lewat produk2nya (hasil aktivitas politik).

-
Berdemokrasi yang memenuhi aspek tesis Hans Joergen tentang adanya : kompetisi, partisipasi dan kebebasan sipil utk memilih ketika dalam framing “materialisme” maka meruntuhkan aspek nurani/kejujuran pribadi dan menggeser substansi politik atas dasar kebajikan. Logika pasar biasanya penjual dan pembeli terdapat jarak di dalamnya. Politik Transaksional (lanjutan … )

-
Politik transaksional akan menjadi keharusan apabila mentransaksikan aspirasi, kepentingan dan ekspektasi publik tenetang kesejahteraan antara konstituen dengan aktor politik untuk diaksentuasikan ke dalam produk politik yg populis (memihak masyarakat) dan bukan transaksi yang dipenuhi propaganda politik saja.

-
Kriteria calon kepala daerah yang diinginkan masyarakat : jujur, dekat dan perhatian dgn rakyat dan kapabel harus menjadi jembatan untuk membangun transaksi politik yg berlangsung kontinyu selama 5 tahun.

-
Pejabat publik yg dihasilkan dari proses transaksi penuh modal pasti berdampak pada logika dagang untuk pengembalian modal yang paling memungkinkan dilakukan adalah :korupsi atau penyalahgunaan jabatan  public sebegai anggota dewan.

-
Pilkada masih dalam bayangan politik transaksional; oleh karena itu yang
tampil selalu bermula dari kekuatan modal material. Apalagi transaksionalsme tersebut mewarnai perilaku efficacy.

Dinamika (Politik)
Menjelang Pilkada

-
Politik menurut Max Weber (2002): panggilan hidup untuk mengabdi kepada kesejahteraan umum. Oleh karenanya menjadi politisi sesungguhnya mengemban etika umum: mengutamakan kepentingan masyarakat.

-
Sudah saatnya bahwa berpolitik adalah sebuah “pilihan hidup” tapi bukan satu2nya jalan untuk penghidupan, krn penuh spekulasi di era “aterialistic” ini.

-
Sesungguhnya mulai terbersit “kejenuhan” masyarakat berpartisipasi dlm politik. Kebiasaan “menjual” suara salah satu bentuk “pelarian” atau skeptisisme terhad ap demokrasi untuk memperbaiki kesejahteraan.

-
Kompetisi antar calon kepala daerah cenderung “seru” karena penguasaan terhadap modal sosial & kapital yang dimilikinya.

Dinamika Menjelang Pilkada

-
Menguatnya wacana calon perseorangan. Meski political costnya tidak lebih murah melalui prosedur parpol.

-
Kecenderungan “persaingan” antara kepala/wakil kepala daerah dengan Sekda menjelang Pilkada.

-
Persoalan posisi dan netralitas PNS dalam Pilkada yang rawan politisasi.

-
Fenomena sentimen kewilayahan sebagai basis asalusul calon kepala daerah.

-
Figur akseptabilitas calon: (1) birokrat, (2) militer, (3) pengusaha, (4) tokoh parpol, (5) akdemisi dan (6) tokoh agama. (LPPD, Oktober 2009).

-
Alasan memilih calon: (1) program kerja, (2) pengalaman calon, (3) popularitas dan (4) pemberian uang/sembako. Prasyarat Pemimpin Masa Depan (Stephen R. Covey, 1993)

-
Proaktif menghadapi oa e g adap berbagai problem yg muncul.

-
Visioner : memiliki pandangan yg jauh saat mencari solusi suatu persoalan.

-
Mendahulukan halhal yang utama: kepentingan rakyat di atas segalagalanya.

-
Berpikir win – win solution.

-
Kemampuan memahami orang lain dan baru dipahami.

-
Mampu membangun sinergi terhadap keragaman potensi yang ada.

-
Terus mengasah diri dgn semangat belajar dari keadaan.

-
Tawaran Johan Galtung (2003)

-
Memiliki courage : keberanian mengambil keputusan yang memihak pada kepentingan rakyat dgn segala resikonya.

-
Memiliki goodwill : kemauan & niat untuk berbuat terbaik pada masyarakat dgn kekuasaannya.

-
Memiliki integritas : memimpin dengan pribadi yang jujur & bersih supaya pemerintahan ikut menjadi bersih dari korupsi.



BIAR SEJARAH YANG BICARA …….. Indonesia Minded : IndonesiaKu Indonesia Anda Indonesia Kita


Politik Transaksional Penguasa Vs Pengusaha

Posted: Mei 11, 2010 by kopral cepot in Wacana Kini
Tag:

Bagi Aburizal Bakrie bisnis adalah segalanya. Barangkali 90%, dan 10% untuk keluarga, untuk kesehatan. Politik pun tidak. Jadi, dia juga menjalankan peran politiknya tidak untuk jangka panjang. (Wimar Witoelar)
Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar pilihan Munas di Riau tahun lalu, ternyata sungguh-sungguh mulai menepati janjinya di depan Munas Riau. Di hadapan keluarga besar Partai Golkar, ia berjanji mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk mengembalikan kejayaan yang pernah diraih Sekretariat Bersama Golongan Karya, Sekber Golkar, dalam lebih dari tiga dekade di panggung perpolitikan nasional. (sumber)
Terpilihnya ketua umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang biasa dipanggai Ical sebagai ketua harian sekretariat bersama koalisi pemerintahan, tidak lepas dari adanya transaksi politik antara SBY dan Ical. Proses ini telah berlangsung sejak Partai Golkar ikut dalam koalisi pasca pemilihan presiden (pilpres).
Spekulasi tersebut muncul dikarenakan, tidak berselang lama pasca pengunduran diri Sri Mulyani dari Menteri Keuangan, Presiden SBY mengumpulkan para ketua umum partai koalisi di kediamannya Puri Cikeas. Dalam pertemuan tersebut Ical didapuk menjadi ketua harian Sekretariat Bersama (Sekber) yang baru dibentuk. (sumber)
Menurut mantan Sekjen Partai Demokrat Marzuki Alie, pembentukan Sekber tersebut sudah direncanakan sejak awal kesepakatan koalisi. Namun saat penandatanganan komitmen koalisi saat itu, Partai Golkar belum ikut dalam kelompok koalisi yang dipimpin SBY tersebut.
Dikatakan Marzuki, Partai Golkar memang masuk belakangan setelah pilpres. “Kontrak politik itu disepakati antara Pak SBY dengan Ical. Dan saya kira parpol koalisi lainnya juga mengetahui itu,” kata Marzuki kepada Waspada Online, siang ini.
Marzuki membenarkan pembentukan Sekber saat itu, Partai Golkar belum ada. Dijelaskannya, Sekber tersebut sudah ada dalam kesepakatan dalam koalisi antara SBY dengan parpol pendukung koalisi pemerintahan sebelum pilpres.
Namun Marzuki membantah bahwa ditunjuknya Ical sebagai ketua harian Sekber koalisi karena ada kaitannya dengan kasus Century. Pembentukan koalisi merupakan bagian dari evaluasi dari kekurangan yang ada dalam koalisi periode 2004-2009. (sumber)

Kisah “Asmara” Ical n SBY ;)

Hubungan Ical dan SBY cerminan hubungan dua anak manusia yang berbeda ’gender’ alias pacaran. Mereka sudah saling kenal, kencan dan sudah curhat-curhatan. Intinya hati mereka sudah bertautan.
Tapi kendala masih ada. Masing-masing masih punya ’pacar simpanan’, ’orang ketiga’, bahkan ’orang keempat’. SBY yang punya status bergengsi, masih suka lirik sana, lirik sini. Sementara Ical yang punya banyak duit, tidak mau ketinggalan.
Dua-duanya punya hobi telpon-telponan, saling kirim pesan singkat atau suka chatting di Facebook dengan pacar gelap. Seperti istilah pasangan selebriti yang baru saja hadir bersama dalam satu acara. Ical dan SBY kemudian ketemu dan kepergok media infotaintmen. Ical disuruh SBY menjawab pertanyaan wartawan hanya berkata singkat:”…. kami cuma berteman…”.
Wartawan tidak puas lantas mendesak. Misalnya mengapa mereka harus ’bergandengan tangan’ seperti pacaran? Ical berkilah “… oh kalau itu, kebetulan saja. Kami hanya sekadar memperkuat pertemanan. Kami punya chemistry yang sama. SBY suka berteman sama saya dan saya juga begitu. Tapi kita lihat saja nanti. Saya maunya hubungan kami mengalir seperti air …”.
Tidak ada maksud melecehkan SBY dan Ical ketika dua politisi papan atas itu disamakan dengan selebriti. Tetapi memparodikan hubungan SBY dan Ical jauh lebih mudah ketimbang membahasnya secara serius.
Koalisi SBY dan Ical, menjadi berita teranyar karena bersamaan dengan mundurnya Sri Mulyani. Mbak Ani digadang-gadang sebagai salah seorang ’darling’-nya SBY di kabinet. Tapi sebaliknya Sri Mulyani’musuh politik’ Ical. Diakui atau tidak, Ical sangat berkepentingan apabila Sri Mulyani tidak lagi menjadi menteri kesayangan SBY.
Permusuhan Ical dan Sri Mulyani berawal dari tidak dikabulkannya permintaan suspensi perdagangan saham PT Bumi Resources, ketika harganya terus turun. Ical memiliki saham mayoritas di BUMI. Kabarnya, gara-gara penolakan Sri Mulyani itu, kekayaan Ical melorot drastis.
Permusuhan Ical dan Sri Mulyani terus memanas. Dalam skandal Century, Partai Golkar, jelas-jelas menyalahkan Sri Mulyani dan Boediono. Ical pun kemudian diganggu persoalan pajak.
Perusahaan Ical disebut-sebut menjadi korban kriminalisasi aparat perpajakan, yang ada di bawah kementerian keuangan pimpinan Sri Mulyani. Sempat muncul kesan, SBY membiarkan persoalan, sampai-sampai Ical tak bisa menahan emosi.
Beberapa bulan lalu, Ical datang ke Fraksi Partai Golkar di Gedung DPR. Ical mengeluarkan pernyataan menantang. “Saya tidak takut ancaman… saya siap mati kalau ditantang…“, demikian kurang lebih potongan kalimat Ical itu.
Ical seakan menunjukkan anti-klimaks ketidakharmonisan hubungannya dengan SBY. Tapi kesan itu agak mereda, tatkala SBY menjadi saksi pernikahan putera Ical, April lalu.
Hubungan Ical dan SBY memang putus sambung. SBY (melalui aparatur dan jaringannya) dinilai membantu Ical sehingga berhasil mengalahkan Surya Paloh dalam perebutan kursi Ketua Umum DPP Partai Golkar Oktober 2009.
Tapi sebelum itu SBY tidak lagi merekrut Ical sebagai Menko selepas KIB 2004-2009 berakhir. Banyak pengamat menyimpulkan, Partai Demokrat sedang bersiap-siap mengecilkan Golkar.
Penggeseran Ical ke posisi Menko Kesra dari Menko Perekonomian dalam KIB 2004-2009, merupakan awal dari usaha SBY mengerdilkan Golkar dan tokoh-tokohnya. Lantas apa yang melatar belakangi SBY sehingga muncul keputusannya memberdayakan kembali Ical ataupun Golkar ?. “Nenek-nenek atau kakek-kakek aja pasti bisa menebak….”,begitu kurang lebih kelakar seorang pengamat.
Pada hakekatnya SBY dan Ical merasa tidak aman mengarungi politik sampai 2014. SBY sadar dalam politik berlaku rumus, tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Hanya kepentingan yang abadi.
Kepentingan SBY dan Ical sekarang sama. Yaitu bagaimana dua-duanya ’bisa selamat’. Sebisa mungkin bukan hanya sampai 2014 tapi setelah itu. Di 2004, Ical pernah bercita-cita menjadi Presiden. Ia ikut dalam konvensi Golkar bersaing dengan Akbar Tanjung, Wiranto, Surya Paloh dan Prabowo.
Cita-cita itu belum mati. Tapi untuk menghidupkannya, persoalan yang paling penting adalah bagaimana “bisa selamat” melewati perjalanan waktu sampai 2014. Jadi sekali lagi, wajar apabila Ical membantah tuduhan soal adanya transaksional politik. Yang ada yaitu menjaga ’kepentingan’. (sumber)
“Ada utang budi SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) pada Ical (sapaan akrab Aburizal Bakrie). Namun elite PD tidak menyadari hal ini dan mengeluarkan ancaman-ancaman terhadap Golkar yang menyinggung Ical. Inilah yang membuat kondisi panas,” kata pengamat politik Boni Hargens kepada wartawan, Jakarta, Minggu (14/2).
Menurutnya, indikasi utang budi Presiden SBY terlihat ketika Partai Golkar mengadakan Munas di Riau beberapa waktu lalu. Dijelaskannya, SBY secara jelas memberikan dukungannya pada mantan Ketua Kadin itu untuk merebut kursi Ketua Umum Golkar.
Padahal, lanjut dia, saat itu Ical harus berhadapan dengan kandidat lainnya yang didukung Jusuf Kalla, sebagai mantan wakil presidennya. “Golkar yang pada pilpres adalah kompetitor SBY, tapi kembali mendapatkan jatah kursi di kabinet, karena peran Ical,” tegasnya.
Hal yang sama, lanjut dia, terlihat dengan tidak adanya sanksi kepada Ical saat masih tergabung dalam kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1 terkait bencana Lumpur Lapindo.
Dengan contoh di atas, tegas dia, nampak jelas adanya hubungan yang spesial antara SBY dan Ical sehingga tidak mungkin akan ada tindakan. Dikatakannya, fakta itu tidak disadari oleh bawahan SBY baik di pemerintahan maupun parpol.
“Kalau saja mereka tahu latar belakangnya tentunya mereka juga tidak akan berani mengusik Ical, karena bos besarnya saja tidak berani,” ujar Boni. (sumber)
Bila anda bertanya kenapa drama politik penuh intrik ???
Semua itu adalah orangnya ”Sudirman” (uang) yang ada di dompet Anda. Sebetulnya bukan hanya mereka tapi semua orang. Tapi mereka itu di-catalize, difasilitasi oleh seseorang yang bisa menjanjikan kebahagiaan sepanjang masa dengan ”Sudirman (uang)”.